Sabtu, 04 Maret 2017

Berkorban demi anak

Berkorban demi anak..
Berkorban demi anak ini bisa positif tapi juga bisa negatif. Negatif  misalnya berkorban karena sangat memanjakan mereka. Ada seorang kenalan, kehidupannya sederhana, malah boleh dikatakan secara ekonomi kehidupannya agak susah. Tapi demi menyenangkan anaknya si ayah berhutang sama tukang jahit tetangganya  untuk  membelikan Hp canggih untuk anaknya. Berkorban begini tentunya semua kita tahu  bukanlah berkorban yang patut dilakukan oleh orang tua.
Selain itu, biarpun anaknya sudah SMA bahkan ada yang sudah kuliah, anak anak ini  tidak diajarkannya  bertanggung jawab untuk mengurusi hal sepele bagi dirimereka sendiri seperti : mencuci piring makannya,  merapikan kamar  atau mencuci bajunya sendiri. Si ibu yang sdh tidak muda lagi ini setiap hari berfungsi sebagai pelayan untuk anak2nya, karena mereka tidak punya pembantu. Orang tua ini memiliki sayang yang berlebih pada anaknya dan lupa bahwa dia tidak akan hidup selamanya. Cinta yang berlebihan telah membutakan hati orang tua ini akan apa yang dihadapi dan dijalaninya anak anaknya di masa depan mereka nantinya. . . Bahwa hidup ini akan digilir gilirkan Allah.
Kenyataan hidup ini  jauh lebih keras dari pada apa yang disediakannya untuk anak anaknya. Kisah dan teori dalam  buku “How to Raise an Adult” bercerita banyak tentang bahwa tugas tugas dirumah sebenarnya signifikan  mengajar anak sikap untuk bertanggung jawab.
Cara orang tua berkorban untuk anaknya bermacam macam .Saya pernah bertemu dengan seorang bapak yang sudah tinggal lama di Jeddah, Saudi Arabia. Waktu berbicara tentang keluarga, saya bertanya : “ Anak2 disekolah apa disini pak?”. Oh.. kedua anak kami, kami kirim kekampung di Madura, tinggal dengan neneknya. Karena pendidikan disini tidak seperti yang kami harapkan”. jawabnya.
Banyak kita dapati orang tua yang bukan saja rela berpisah dengan anaknya tapi juga rela melakukan apa saja  demi anaknya mendapatkan pendidikan yang baik. Apakah seperti bapak yang diatas  atau seperti beberapa keluarga dan teman kami  yang memutuskan bersusah payah untuk tetap di negeri orang karena menilai pendidikan di Negeri yang mereka tinggali jauh lebih baik dan murah dibandingkan dengan sekolah di negeri sendiri.
Ternyata, menurut para ahli, lingkungan tempat tinggal dan sekolah yang baik adalah faktor yang penting dalam memberikan pendidikan kepadaanak2 kita. Agar supaya mereka berhasil dikemudian hari. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang sehat. Berteman dengan kawan2 yang baik dan lingkungan yang mendukung. Orang tua yang begini berpendapat, biar rumah kecil tapi tinggal dilingkungan yang sehat, lebih baik daripada rumah besar tapi lingkungannya tidak menguntungkan.Dilingkungan yang sehat, bukan saja hubungan dalam keluarga tetapi juga antar tetangga dan anak anak akan mempunyai lingkungan bermain yang baik juga.
Study jangka panjang (Longitudinal Study) yang dilakukan ( sejak tahun 1938 selama lebih 70 tahun) terhadap 400 mahasiswa Harvard, Amerika, kesimpulannya antara lain : Hubungan yang baik dalam keluarga dan dengan teman2nya adalah unsur utama dalam keberhasilan seorang anak dalam menapaki  hidupnya.
Faktor kedua yang berdampak positif untuk kesuksesan anak dikemudian hari adalah bila orang tua  tidak  pelit memuji kalau mereka berprestasi, sekecil apapun. Kebiasaan segera  memuji ini harusnya menjadi budaya dalam keluarga. Ternyata orang tua yang anaknya suskses dalam hidup salah satu faktornya adalah mereka punya kebiasaan memuji anak2nya. Bukan saat mereka berprestasi saja, tapi terutama dalam  proses atau  dalam usaha mereka  mencapai tujuan yang akan dicapai, anak2 juga patut dipuji, terlepas mereka akan  berhasil atau tidak. Ternyata menurut para ahli menghargai atau memuji proses pencapaian prestasi itu jauh lebih baik dari pada memuji prestasi itu sendiri. Misalnya pujian: “luarbiasa usahamu siang malam belajar tidak kenal lelah, kamu pantas lulus dengan  memuaskan atau ‘cumlaude’nak!.”                                                                        “Latihan yang kamu lakukan tanpa mengeluh itu, luar biasa, tidak semua orang dapat melakukannya”, hebat kamu nak, biarpun belum berhasil, tapi usahamu itu luar biasa!
Dalam Islam, proses itu sangat penting dan harus dilakukan dengan benar. Misalnya sholat tidak akan sah bila tidak diawali dengan proses wudhu yang benar sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.Wudhu tidak sah bila airnya tidak memenuhi syarat2 kebersihannya.  Begitu juga haji, jika proses mendapatkan dana untuk berangkat ke tanah suci tidak benar, maka jelas ibadah hajinya tidak diterima.
Faktor ketiga, menurut para ahli, mengajari anak ilmu untuk menghadapi realita hidup lebih penting daripada mengerjakan PR sekolah (Pekerjaan rumah). Sementara kebanyakan kita sangat menekankan PR, PR,PR, tapi anak tidak bisa menghidupkan mesin cuci, atau, mengencangkan paku pintu yang longgar, mengganti kran patah. Apalagi untuk mengganti ban bocor!
Faktor keempat adalah berani mengambil resiko. Sikap ini berkaitan dengan menghargai proses/usaha  dalam mencapai tujuan, seperti yang telah diceritakan diatas. Caranya bagaimana?.  Berikan kepercayaan dan dorong  anak anak kita untuk berbuat. Jangan takut salah atau gagal dalam mencoba. Gagal dan berhasil adalah bagian dari kehidupan. 
Saya teringat dialog yang terjadi suatu hari antara pak Jusuf Kalla dengan wartawan: “Bagaimana kalau bapak kalah dalam pemilihan sebagai wakil presiden? Dengan enteng beliau menjawab: “ Mudah, saya kembali kekampung saya (Makassar) dan berdagang seperti biasa lagi. Sikap ini ternyata ditanamkan oleh orang tuanya sejak beliau masih kecil: “Jangan gentar menghadapi resiko gagal!”.
Sebagai orang tua kita harus TEGA membiarkan anak anak kita memecahkan dan menyelesaikan  masalahnya sendiri. Kita orang tua mengawasi dan membimbing untuk membantu menjadikan mereka anak yang tidak gentar dalam menghadapi kehidupan ini. Kemampuan anak untuk Berfikir, Memilih dan Mengambil keputusan untuk dan atas nama dirinya harus dilatih sejak kecil dan di mulai dari hal hal sedernana dalam kehidupan sehari hari sampai insha Allah nanti  ketika sampai waktunya untuk memilih jodoh.Kita membantu anak kita dalam proses tersebut untuk bersedia dan berani mengmbil semua resiko dari pilihan yang dilakukannya.
Semua ini tidak bisa tidak harus dilakukan dalam kerangka agama. Anak harus mengerti tanggung jawab dia sebagai manusia itu terhadap Allahnya dulu. Sejak  dia kecil ada hal yang mendasar yang harus ditanamkan kepadanya tentang keberadaan Allah dalam hidupnya. Bahwa Allah bukan saja yang memenuhi kebutuhan kita sebagai manusia tapi Dia menentukan dari mana kita berasal dan kemana kita akan kembali. Lahir kita sendiri, pulang keharibaanNyapun juga sendiri lagi.
Karenanya “berkorban” demi anak  harus dengan fikiran dan tindakan yang benar sesuai dengan perintah agama kita. Kita datang sendiri, pulang sendiri dan sendiri juga dalam mempertanggung jawabkan semua fikiran, sikap dan tingkah laku kita sehari hari dalam mengasuh dan membesarkan anak anak kita..
Mudah2an dengan memperhatikan dan mawas diri selalu dalam sikap dan keputusan kita  untuk ‘berkorban” bagi anak anak kita, kita  akan mewarisi anak keturunan seperti yang kita cita2kan,amin.

Bekasi, 4 Maret 2017
Risman Musa
#GrandParenting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar